Berikut adalah salinan surat yang kami terima dari Organisasi Ikatan Korps Perwira Pelayaran Niaga Indonesia(IKPPNI) yang ditujukan kepada Presiden RI perihal prioritas berkaitan kedaulatan wilayah perairan NKRI dan efisisensi tatakelola negara terkait keamanan di laut.
Ketua Umum IKPPNI, Capt. (C) Dwiyono Soeyono menegaskan bahwa usulan ini selaras dengan Asta Cita Presiden RI, khususnya yang berfokus pada kedaulatan maritim dan efisiensi tata kelola keamanan laut Indonesia,tutur Ketua Umum IKPPNI.
SURAT TERBUKA KETUA IKPPNI UNTUK PRESIDEN RI
Jakarta, 17 Maret 2025
Kepada Yth.,Jend.(Purn.) Prabowo Subianto Djojohadikusumo
Presiden Republik Indonesia
Di Istana Merdeka
Jl. Medan Merdeka Utara No.3,
Daerah Khusus Ibukota,
Jakarta 10110
Dengan Hormat,
Salaam sehat bagi Bapak Presiden-RI beserta seluruh jajaran Menteri yang menjabat sebagai pembantu Presiden. Sebelumnya ijinkan kami terlebih dahulu menjelaskan dan mempertegas, bahwasannya kami mewakili masyarakat tenaga ahli tatakelola keselamatan dan keamanan pelayaran niaga melayangkan surat ini adalah sebagai panggilan kewajiban amanah Undang-Undang terkait peran aktif masyarakat dalam rangka memberikan masukan konstruktif bagi kedaulatan wilayah laut dan keselamatan serta keamanan negara dari sektor maritim.
Ijinkan pula perkenalkan identitas kami sebagai Organisasi Profesi tenaga ahli maritim niaga, dengan nama Ikatan Korps Perwira Pelayaran Niaga Indonesia (IKPPNI) yang mana digagas dan sudah berdiri sejak 11 November 2011, pengesahan Kemenkumham ditahun 2013 dengan nomor AHU.108.AH.01.07 – 2013.
Berkenaan maksud dan tujuan IKPPNI memberikan masukan konstruktif bagi negara adalah selaras dengan samangat asta cita Presiden RI nomer 2,3 dan 4. Ada 2 hal saran-saran IKPPNI yang kami anggap prioritas berkaitan kedaulatan wilayah perairan NKRI dan efisisensi tatakelola negara terkait keamanan di laut, yaitu:
- Mendeklarasikan SELAT SUMATERA, sebagai pengganti nama Selat Melaka selama ini.
- BAKAMLA tetap pada fitrahnya sebagai
Adapun alasan singkat yang dapat kami jelaskan dalam surat terbuka ini adalah:
- Mengapa SELAT SUMATERA?
Karena selama ini kami sebagai praktisi Pelaut Niaga bangsa Indonesia di lapangan sangat miris teriris saat bernavigasi melintas di wilayah perairan sepanjang selat antara pulau Sumatera dan semenanjung Malaysia dari titik Beting Sedepa hingga Pulau Iyu Kecil, semua pengaturan tata-kelola pelayaran dan nama-nama dalam peta navigasi tidak menunjukkan kontrol kedaulatan wilayah perairan milik NKRI. (Dalam pengesahan International Maritime Organization/IMO dipopulerkan dengan istilah Straits of Malacca and Singapore/SOMS)
Kedaulatan kontrol wilayah perairan demikian adalah sesuatu yang dimandatkan hukum laut internasional dalam konvensi PBB United Nation Convention Law Of the Sea (UNCLOS), selama negara pemilik wilayah perairan memiliki gagasan yang lebih baik dalam tatakelola keselamatan pelayaran internasional sebagai kontribusi terhadap dunia pelayaran Internasional.
Dari fakta demikian yang ada, maka IKPPNI sangat menyarankan sebagai langkah awal adalah setiap peta navigasi terbitan negara melalui PUSHIDROSAL sudah menorehkan SELAT SUMATERA.
Dampak positif konstruktif lanjutan berksinambungan akan kedaulatan wilayah perairan NKRI dapat brkontribusi pada perkembangan ekonomi dapat IKPPNI paparkan lebih lanjut dalam agenda dan sesi khusus bila diperlukan.
- Mengapa BAKAMLA tetap pada fitrahnya sebagai BAKAMLA?
Polemik melahirkan BAKAMLA bergulir sejak disahkannya UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2014 TENTANG KELAUTAN yang mana ditransformasikan dari BAKORKAMLA menjadi BAKAMLA dan dipaksakan dengan terjemahan dalam bahasa Inggris menjadi SEA and COAST GUARD (Penjaga Laut dan Pantai).
Sedangkan dalam nomenklatur berdasarkan amanah rezim UU 17 tahun 2008 yang telah dirubah menjadi UU 66 tahun 2024, pada pasal 276 secara jelas tetap konsisten menyatakan: Untuk menjamin terselenggaranya Pelayaran, “Menteri melaksanakan tugas pengawasan dan penegakan peraturan perundang-undangan di bidang Pelayaran”.
Keberadaan SEA and COAST GUARD (Penjaga Laut dan Pantai) yang sudah mengkristal dan dikenal badan dunia International Maritime Organization (IMO), dimana Indonesia menjadi anggotanya dan secara patuh melaksanakan semua aturan dan konvensi yang dikeluarkan IMO. Maka tak disangsikan lagi bahwa keberadaan KPLP yang sudah ada sejak dahulu dengan tugas mewakili hukum negara di laut dalam kegiatan Coast Guard haruslah dipertahankan.
Berikut adalah rincian sejarah KPLP:
Sejarah Awal:
KPLP sudah ada sejak zaman Hindia Belanda, dengan landasan hukum Peraturan Pelayaran (Scheepvaart Reglement) LN 1882 No 115 junto LN 1911 No 399 (kepolisian di laut).
Perubahan Nama dan Organisasi:
Sejak tahun 1942 hingga 1970-an, organisasi ini mengalami beberapa kali perombakan dan pergantian nama, contohnya Jawatan Urusan Laut RI di Yogya yang kemudian menjadi Jawatan Pelayaran RI.
KPLP sebagai Direktorat:
Pada tahun 1973, berdasarkan SK Menhub No.KM.14/U/plib-73 tanggal 30 Januari 1973, KOPLP (sebelumnya) menjadi KPLP setingkat Direktorat.
Peran KPLP:
KPLP berperan dalam menjaga dan menegakkan peraturan perundang-undangan di laut dan pantai Indonesia, serta memastikan pelayaran yang aman, selamat, tertib, dan nyaman.
KPLP di Bawah Dirjen Perhubungan Laut:
KPLP merupakan salah satu direktorat di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan.
Hingga akhirnya, di tahun 1973 disahkan berdasarkan SK Menhub No.KM.14/U/plib-73 tanggal 30 Januari 1973 KOPLP menjadi KPLP (Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai) setingkat Direktorat. Tanggal tersebut hingga saat ini diperingati sebagai hari lahirnya KPLP.
Rincian analisa tehnis tupoksi KPLP yang panjang lebar tidak akan kami paparkan panjang lebar dalam surat terbuka ini, namun IKPPNI akan hadir setiap saat bila diminta pemerintah untuk berdiskusi solutif berkaitan polemik berkepanjangan ini.
Adalah satu tantangan bagi pemangku diskresi tertinggi NKRI yaitu Presiden RI untuk menghentikan polemik yang melelahkan publik dan kontra prouktif bagi pengguna jasa layanan instansi pemerintah terkait maritim hingga tingkat internasional, dengan saran langkah-langkah kebijakan bagi pemerintah dari publik yaitu antara lain:
- Negara tetap menghargai keberadaan KPLP sesuai amanah UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN, tanpa potensi tumpang tindihnya produk hukum dalam pelaksanaan jasa pelayanan publik dimana negara hadir untuk memberikan kepastian hukum negara di laut.
- Menghentikan polemik berkepanjangan untuk kepentingan publik agar lebih produktif sebagai tugas prioritas organ-organ negara pada strata Legislatif-Eksekutif-Yudikatif dengan sikap negarawan sejati, dimana bila BAKAMLA/BAKORKAMLA tetap dipertahankan sesuai tupoksi yang tidak tumpang tindih dengan tupoksi KPLP maka kerja RI-1 akan lebih efektif dan sasaran efisiensi tercapai.
Catatan penting:
Apabila BAKAMLA dipaksakan menjadi Indonesian Coast Guard, maka akan menimbulkan dilema bagi angkutan perairan domestik dan internasional yang menggunakan perairan Indonesia. Berdasarkan RUU nomor 34/ 2004 yang sedang digoreng Komisi I DPR RI, Keamanan Laut akan dijadikan salah satu institusi yang boleh diduduki oleh Prajurit Militer aktif. Hal ini akan berarti ada 2 institusi “berlatar belakang TNI” yang dapat bertugas sebagai penegak hukum dilaut seperti yang tercantum di pasal 9 (b) yang tertulis sebagai berikut: “Angkatan Laut melaksanakan tugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi”. Hal demikian lagi lagi berpotensi timbul tumpang tindihnya isi esensi produk hukum dengan pemahaman tugas antara TNI AL dan Bakamla berbenturan dibidang yang sama. Apabila dalam melaksanakan tugasnya Bakamla (yang nantinya akan dijadikan Coast Guard) berurusan dengan kapal-kapal niaga asing, maka Indonesia akan mendapatkan protes dari IMO sebagai badan dunia yang mengatur tentang maritim niaga (Merchant maritime). Didalam nomenklaturnya, secara jelas bahwa IMO hanya mengatur tentang Kapal Niaga, bukan kapal perang atau kapal milik negara (sesuai mandat UNCLOS).
Hal demikian adalah tidak selaras dengan dengan proses pembuatan produk hukum dalam amanah UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, yaitu terutama “asas dapat dilaksanakan” adalah dimana setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat (nasional dan intrnasional), baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
Demikian kami sampaikan saran masukan konstruktif produktif, dimana peran IKPPNI adalah masyarakat sebagai mitra para-para segenap pemangku kepentingan terkait industri maritim niaga secara umum dan SDM Pelaut niaga produk IMO secara khusus menghaturkan banyak terimakasih atas amanah yang dititipkan.
Hormat kami dan Salam Perwira,
Capt.(C).Dwiyono Soeyono, M.Mar.
Ketua Umum IKPPNI